Jumat, Desember 28, 2012

After Rain : Melodrama

Saya mengamati. Melihat hujan selalu turun dari atas kebawah. Tak ada yang meloncat-loncat gembira, memantul-mantul bagai tak kehilangan energi, lalu memecah kembali menjadi pecahan titik-titik air kecil yang berlompatan. Sedikit diantaranya menempel mesra di potongan bawah celana jins biru berwarna kusam milikmu, yang lainnya melompat lebih tinggi lagi, untuk terpendar menjadi jutaan warna tak terdeskripsikan.

Entah kenapa, saya sering tenggelam dalam lamunan. Beberapa kali terlalu dalam, kalaupun tak muncul, pastilah karena di sekitar kelenjar limfa di dekat leher sudah muncul insang.

Pelita dalam jjiwa masih benderang, yang selalu menghangatkan, dia, masih tetap berada di sisi. Meski jok motor beberapa kali ada spasi tanpa alasan, tapi cukuplah untuk menghangatkan. Terkadang saya yang gemas sampai berkata, “Tau gak bedanya karung beras sama orang? Kalo karung beras gak bisa pegangan, kalo orang bisa pegangan.” Dan dia tertawa. 

Saya mempertanyakan alasan spasi ini pun sepertinya percuma, dua kali saya bertanya, dua kali pula saya berhasil digantungkan tanpa alasan.
Digantung.

Mirip seperti tukang foto, yang dengan memberikan aba-aba, “Satuu… Duaa… Tiiiii….dak jadi..” Lalu berlari.

Ah sudahlah, mungkin saya yang sedang terlalu sensitif untuk tidak paham. Berkali-kali dia juga protes, “Kamu tu lama nyambungnya.” Alih-alih menjelaskan dengan halus seperti dalam MoU, ini sambil setengah sebel. Kutanggapi saja dengan tawa. Lha wong emang baru gak konek.

Yah, beginilah. Jarang ada hal yang harus diupdate di sini. Sekalinya pengen nulis, ada saja ingatan yang kabur, terkadang melantur hingga terbang jauh setelah merebahkan badan di kasur. Setelah dicoba ditarik kembali dari awing-awang, tak ketemu.
Lalu akhirnya duduk saja, menyerah.

Dia juga merindukan saya yang menulis di blog ini. Namun sekarang kalimat-kalimat gemas yang dengan unyu dia ungkapkan untuk menyemangatiku menulis agaknya sering lupa diucapkan. Saya yang abstain menulis, diikutinya, sekarang blognya juga kosong. Kosong update maksudnya.

Tapi memang tak bisa dipungkiri, berkali-kali kami berdua sering menghabiskan waktu di kampus, terkadang kampus tetangga, untuk menghabisi nyawa Bab-Bab penuh tanda tanya yang kami selami bersama. Kami saling menjadi tutor sekaligus murid. Sharing, diskusi, sampai ngeyel-ngeyelan sering terjadi diantara kami berdua, semuanya berhenti hingga ada yang mengalah, atau sampai menemukan teori yang menjadi pemecahan diantara kami berdua. 

Tak ayal, salah satu diantara kami terserang kantuk yang amat sangat lalu gugur, bagai pengawal yang setia, kami saling berjaga. Tugasnya cukup simpel, ketika yang satu tumbang, yang terjaga wajib mempelajari hingga mendalam untuk kemudian mengajarkan kepada yang tumbang. Begitu seterusnya.

Yang menghentikan kami hanyalah gelap malam, atau telfon dari ibunda tercinta, atau perut yang bergetar-getar bagai dering handphone nokia murahan tahun '98.

Yak begitulah, oiya, sedikit berita, sekarang saya sudah jarang ketiduran sehabis Shubuh, ada jam beker baru warna biru yang mendengking-dengking hingga ibunda terpaksa berteriak panjang bagai serigala untuk menyuruh saya mematikan weker.
Jadi, yaa terjaga sudah.