Jumat, Juli 23, 2010

Teruntuk wanita saja

Teruntukmu, wanita…

Kau kecup tanganmu, untuk kemudian kau lepas pelan-pelan…
Ketika kau memandangi sebuah persoalan yang membuatmu berpikir keras…

Kau gerakkan tanganmu, menempelkan telapak tangan di pipi..
Ketika kau menerawang jauh…sementara aku hanya memandangmu dari seberang bangku..

Kau kerlingkan kedua bola mata milikmu sambil menatapku penuh ingin tahu..
Ketika kau mencoba menangkap setiap perkataan yang keluar dari mulutku..

Kau gerakkan kaki yang terbalut rok panjangmu sebebas yang kau mau…ke kanan, kiri, depan, belakang lalu kau hentakkan…
Ketika kau memikirkan sebuah jawaban yang kulontarkan untukmu…

Kau berkata akan banyak hal…semua kau coba jelaskan…tiap kata, tiap frasa…
Ketika kau meyakinkan aku akan hal yang terjadi padamu…

Kemudian tanganmu akan mengacung ke atas, senyum indah merekah, mata itu menyipit, ada seberkas raut muka yang menjadi merah secara tiba-tiba…
Ketika kau berhasil melakukan sesuatu dengan usaha keras, hingga kau berpeluh dan tetesannya hinggap di tanah…

Aku hanya bisa tersenyum, aku tak mampu berbuat apa lagi, aku hanya mencoba untuk menahan rasa yang hampir meledak pelan-pelan. Hampir bisa menghentikan langkahku untuk sementara, padahal sebenarnya aku tak mampu melangkahkan kakiku karena aku hampir diam membisu melihatmu.

Jika tak ada keberanian dibalik kulit dan tulang milikku ini, mungkin mukaku sudah merah karena malu, mendekatimu saja mungkin aku sungkan. Aku pria yang sangat pemalu, yang kehilangan tiap kata yang akan kuucapkan ketika aku bertemu dengan orang yang aku suka, aku cinta. Bahkan diamku ketika kau berada di sekitarku pun karena aku tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata.

Aku berlebihan dalam perbuatan, dalam perkataan, dalam tiap apa-apa yang berhubungan denganku, itu kata teman sejawatku, namun aku kekurangan keberanian untuk menyatakan…

...jika pria yang membisu karena keindahan dari dalam maupun luar tubuhmu ini, MENCINTAIMU…



Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan untuk memiliki waktu dengan dirinya, berbicara mengenai kami, agar dia tahu, aku mencintainya…tak hanya sebatas lelucon dan guyonan yang aku coba hinggapkan di hatinya setiap hari…sungguh, tanpa maksud lain, lelucon itu untuk menentramkan dirinya, dan membuat bibirnya yang indah itu menampakkan senyuman yang meleburkan pertahananku…

Namun,memang semuanya tergantung restu, petunjuk, karunia dan ridha-Mu…


…tapi, bisakah saya menawar?

Kamis, Juli 22, 2010

Perubahan baru

Now I’ve transformed.
Hello, leostrada.

Yang sana bilang, “Kamu pasti sedang mengalami masalah berat, bukan jadi buronan kan, Ndik?”

Yang sini bilang, “Bubar kejedug tembok o? Mukamu memperlihatkan kamu ganti. Operasi kelamin?”

Yang ini bilang, “Yeah, boi. Merayakan perubahanmu, mari kita buka satu kaleng tape di rumah, khusus untuk kau ini.”

Yang itu bilang, “Sudah matikah seorang Andika yang dulu minum aer kendi aja udah mabok itu? Atau kau mahluk jadi-jadian macam alien di televisi itu? Maaf, bos. Terminator yang kukenal nggak bisa bahasa Jawa dengan fasih. Pulanglah kau ke negeri Paman Sam, bukan di negeri Ki Joko Bodo ini.”

Yang ‘ditunggu’ malah cuma bilang, “Selamat ya. Terimakasih banyak.”

Respon dari orang pintar ketika menanggapi berbagai komentar itu adalah menghadapinya dengan dewasa, berpikir panjang, menghela napas, tak diambil hati dan direnungkan.
Masalahnya adalah ketika saya ini tak mampu menjadi dewasa dalam waktu lima hitungan napas, tak mampu berpikir panjang – mungkin diselaraskan dengan panjang badan dan panjang hidung, jadi walaupun badan sedikit jenjang, namun hidung yang bagai digencet tembok tak dapat dipungkiri – ditambah napas yang begitu pendek karena renang saja kurang fasih dan tak dapat merenung karena waktu telah habis, habis untuk menggerutu dan menghujat pemerintah, anggota DPRD serta menteri pendidikan. Aku bagai sumbu meriam, ketika sudah menyala cepat berkobar dan cepat habis sabar.

Jadi dengan gampangnya aku menjawab mereka semua dengan beberapa jawaban yang terlihat pesimistik.


Untuk yang pertama, saya bukan jadi buronan. Tapi lebih berat lagi. Buronan berlari dari polisi. Mereka sama-sama punya kaki. Asal mereka sama-sama makan nasi, mereka pasti dapat saling tangkap atau malah lolos sekalian. Tapi ya karena saya ini tidak sedang dikejar polisi, saya terbirit-terbirit dikejar waktu. Waktu macam mahluk gaib saja, tak punya kaki dan bisa merasuki. Orang kerasukan waktu bisa kalap, bisa gila. Mereka bisa pura-pura minum kopi dari gelas kosong – itu sakit gila nomor 27.


Untuk yang kedua, saya tidak sedang koleps. Jadi maaf, jangan harapkan bertemu dengan Andika yang dulu sering berlarian di sekitar lingkungan rumah hanya menggunakan kolor dan memberi jawaban, “Gua baru mau beli sate kambing, simbah baru darah tinggi” Jadi, ya itu memang tidak akan terjadi. Persoalan muka saya yang ganti mungkin hanya masalah waktu dengan karisma. Tahukah kalian? Perbandingan tampan dan karisma itu satu garis lurus, mendukung sesamanya. Kau tanya pula soal operasi kelamin? Penganggurankah kau? Karena penyakit pengangguran sedang dan sudah melanda Indonesia, terutama bagian Sumatera dan Bangka. Bila kau temukan dirimu sedang sendiri – bujang lapuk – dan tak punya kerjaan, siaplah kau mengisi harimu dengan lolongan kosong serta khayalan yang hampir tidak mungkin diwujudkan dan kau dapati dirimu menguap dimakan matahari.


Yang ketiga tak perlu dibahas. Ia memang sedang senang. Namun ia penakut dan peragu. Jadi bersiaplah mengantarkan ia ke rumah sakit terdekat karena tape yang hanya akan dimakan saat ada kejadian penting itu sudah dalam tingat kematangan paling tingginya. Busuk. Jadi siapkan nomor rumah sakit dengan ambulan, hapalkan nomornya baik-baik. Hapalkan.


Yang keempat ini memang agak kurang ajar. Pukul ia pelan di lengan atasnya, tertawalah. Jika ia tertawa juga, maka kalian adalah sahabat yang takkan pernah berpisah dan saling bantu untuk sekitar empat puluh hingga lima puluh tahun kedepan. Selamat. Bila ia tampak beringsut, pipinya semerah tomat dan genggaman tangannya sebesar kubis serta mengeluarkan seluruh isi kebun binatang, tetap santai dan hapalkan kembali nomor telepon rumah sakit tersebut. Sebelum kau tergeletak dengan gigi yang gemelutuk di jalan dan sebelum kau dibuat hilang ingatan dengan pukulan telak di pelipis melalui jab kirinya. Kenanglah ayah ibumu. Berdoalah dengan khidmat. Ikhlas.


Yang terakhir membuat sakit hati. Beberapa orang sepakat bahwa waktu tak ubahnya sebuah jaring di hati dan mempunyai korelasi menarik dengan cinta. Jika kita dikecewakan oleh orang yang kita harapkan dan cintai, maka cinta akan merosot tajam, terjun bebas tanpa beban. Namun karena masih berpegang teguh pada jaring yang melekat di hati itu, kita seperti tercekat. Semakin lama cinta itu melekat, semakin lama ia bersarang maka semakin sakit pula ia mencekat hatimu. Parahnya, kau hanya melihat satu pintu, satu wanita.


Padahal ketika kita berkonsentrasi pada wanita itu – yang tentu saja mengeluarkan aroma-aroma menarik bagi wanita – wanita yang kita harapkan untuk menengok tak kunjung berpaling muka. Namun beberapa pintu di samping kita – yang biasanya juga indah, namun tertutup oleh kabut target, sang sasaran utama yang biasanya setebal kasur pegas – tidak kita hiraukan dan terlewat begitu saja. Padahal mereka jelas membuka pintu. Itulah cinta yang buta.
Buta kemungkinan.


….

Kenapa ya?
Sudahlah.

Oiya,
Untukmu selalu, terimakasih.
Without wax,
Firman Indra Andika a.k.a Leostrada, yang sedang jatuh cinta dan berjambu merah

Udah ah!

***
Gerakmu, indahmu dan bibir kopi pahit rembulan

Luncus bergerak sambil menari, cincai
Sealiran dengan benteng, menteri dan kuda
Semangat tertanding kobaran menjilat-jilat
Berdengung Guioco Piano berdengung akan sembilan langkah
Benteng beriringan mengomandokan Sang Karpov
Hingga rezim berhenti
Hingga sang bulan berganti terang
Hingga sang bulan yang tak terbentuk itu membentuk
Cinta dalam cangkir teh hitamku
Cinta yang disaksikan berdua
Berdua punya rasa sama
Dalam suatu tanggal ganjil dalam Oktober
Yang takkan berubah dingin seperti Desember
Dan sekitar satu tahun itu akan dipertemukan kembali
Kami, yaitu kau dan aku
Dalam padang bulan di atas komedi putar
Yang takkan berhenti beriringan dengan memori
Selalu kutunggu, kutunggu selalu kau
Yang selalu datang dengan gincu membara dan pipi merona mega
Karena ku takkan lupa jika itu
Kau