Jumat, September 03, 2010

Semanis Gulali Merah

Aku melongok ke sebuah selokan. Tempat yang memantulkan segala macam kejorokan. Parasku nampak di sana. Parasku timbul, lalu tenggelam. Aku sendirilah yang menenggelamkannya kembali. Aku mengutuki diriku sambil menendang serpihan kerikil kecil di samping kiri-kananku. Aku kesal. Dunia ingin kujungkir-balikkan. Dari sebelah selatan kudengar suara campursari. Perasaanku remuk redam, ulu hatiku bagai dihantam beton. Kuseret tubuhku yang mulai parau. Hampir limbung jatuh ke dalam selokan bila tak kujaga tubuhku yang ringkih. Kumuntahkan darah yang mulai terasa asin di mulutku. Yang terasa di dalam mukosa ini tinggal manis gulali yang bercampur darah segar. Gulali merah jambu. Ranum warnanya bagai tomat, seperti pipi wanita yang lama kunanti senyumnya, akhwat itu, perempuan berkerudung itu.

***

Aku teronggok bak karung beras yang tergeletak sembarangan di kamarku, aku pemalas. Aku masih melamunkan percakapan imajinerku dengan Charles Coulomb dan Sir Isaac Newton mengenai hukum-hukum gaya mereka. Mereka berseteru, meja bundar tempat kami duduk digebrak berkali-kali hingga tak berarti. Perlawanan antara Hukum Coulomb dengan Hukum Gravitasi Newton. Aku yang tak mengerti hanya tercenung tanpa kata-kata, menyeruput Jasmine Tea yang disuguhkan dengan hati-hati, sedikit-sedikit, kunikmati diskusi mereka diam-diam. Mereka memperdebatkan kemiripan rumus gaya gravitasi dengan gaya listrik. Sudahlah, bukannya kedua gaya tersebut memiliki kesamaan dalam gaya yang akan berkurang sebanding dengan kuadrat pertambahan jarak? Yang jadi persoalan adalah siapa yang akan menjadi plagiator di tempat ini, batinku, tentunya masih dalam alunan Jasmine Teawestern ini, hidungku mencium wewangian, kupingku mencium kebisingan orasi ilmiah. Aku hampir selalu ternganga ketika melepaskan cangkir dari ciuman bibirku, terpana. yang membuat nafsu terlena. Mulutku terus mencium cangkir, mataku mencium panorama

Aku mengedipkan mataku saat terbangun. Kupikirkan kembali mimpiku, kulihat sekeliling. Masih dalam keadaan setengah sadar, kuambil beberapa buku tebal. Kufokuskan pandanganku ke sampul buku tersebut, lalu kulemparkan jauh ke dinding, sorotku terpaku ke jam dinding. Jam dua pagi, aku terperanjat, hampir jatuh dari dipan. Kulekatkan mukaku ke sampul buku tebal itu, lalu melenguh, menguap malas, bergolak manja di atas dipan kembali. Sebuah buku berjudul “Kumpulan 1700 soal Fisika SMA” terjerembab tepat di atas tas sekolahku.

Owalah, gara-gara buku fisika itu toh.”, gumamku sambil menarik selimut.

Aku terbaring kembali. Aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku terkena karma dari dewa. Sekarang aku tidak bisa kembali ke alam tidurku karena perdebatan dua fisikawan. Sial.

Kulayangkan lagi lamunanku. Seketika itu juga aku langsung tercekat. Aku hampir saja memekik keras bila tak kubungkam mulutku sendiri. Aku teringat sosok perempuan itu, sosok akhwat itu. Paras mukanya kemerahan, kulitnya terbakar lembut oleh sinar matahari, membuat raut mukanya menjadi sedikit kemerahan. Sering kutemui sebuah senyum yang tersimpul kemudian tetap tergantung di bibirnya itu. Saking seringnya hingga tak bisa kulupakan. Lalu kutampar mukaku dengan tangan kananku sendiri. Aku terbaring paksa bagai sehelai daun yang jatuh menghamba ke tanah. Aku kembali bermimpi.

Tempat itu bagai rekaman yang diputar ulang. Mirip, terlalu mirip, bahkan cenderung sama. Suara campursari yang bergelombang, gulali merah yang dijajakan di pinggir jalan. Aroma gulali yang ranum, merah seperti tomat, seperti semburat mega ketika senja. Tiba-tiba gadis berkerudung itu menghampiriku. Mengamatiku lekat-lekat. Lalu tersenyum. Senyum paling misterius, aneh, namun ikhlas dan tak terhinggapkan dosa sedikitpun. Tatapannya terang, seakan-akan pelangi bertengger di pelupuk matanya. Yang aku takutkan kembali terjadi, aku tak bisa melepaskan pandanganku pada gadis itu. Secara cepat aku ditampar kenyataan. Aku jatuh cinta.

Aku diberinya gulali merah. Yang kemudian melekatkan rasa manis berlebihan ke dalam mulutku. Kugigit sedikit-sedikit. Kukulum rasa manis gulali, kemudian kutelan manis paras wajahnya. Kalau terus seperti ini, aku bisa terkena diabetes hanya dalam waktu satu hari, gumamku.

“Ayo naik itu, yang berputar-putar itu”, ajaknya. Lugu. Ia sangat polos. Lucu sekali.

“Bianglala? Kenapa harus yang ini? Kenapa tidak komidi putar?”, jawabku setengah memekik. Lalu kusadari kemudian kata-kataku begitu tajam. Tapi sorot matanya malah menguat. Merasa kurang dipercaya, ia menambahkan kata-kata sakti miliknya. Seperti biasa.

“Kenapa harus ditolak bila bisa terlaksana?”, ungkapnya. Tetap polos. Tetap lugu.

Aku menyerah tanpa syarat. Ia menyimpulkan senyumnya kembali. Langkahnya berjingkat-jingkat. Ia gembira. Gembira sekali. Tak akan kami duga bila bianglala ini akan roboh. Pemasangan yang semena-mena menyebabkan selip dan robohlah bianglala ini serta penikmatnya. Perempuan itu tak terselamatkan. Hanya aku yang bernafas, selamat. Hilanglah ia ditelan bencana. Aku tak percaya, aku masih tak ingin percaya. Lalu aku berjalan, pergi.

Aku terbangun ketika cahaya matahari menciumi keningku lewat sela tirai jendela. Semua telah terjadi dan selalu kubawa bermimpi. Meski telah terlewat beberapa bulan, masih kurasakan manisnya gulali merah itu, serta manis senyum yang ia paksakan untuk tersimpul. Manis sekali. Tanpa kusadari, mata, pipi dan lesung pipitku meleleh. Sedikit asin ketika kurasakan beberapa tetes hinggap di mulutku. Namun gulali merah itu tetap terasa manis.