Selasa, Maret 03, 2015

Aditya Hanes Intanto

“Dul, tangi, Dul! Ayo shalat!”

Namaku bukan Abdul, apalagi Dullah. Hanya saja, temanku ini sangat suka sekali memanggilku demikian.

Ketika kubuka mata, tampaklah sosoknya yang tegap, bermata jernih, dan berkacamata sedang mengayun-ayunkan sarung di samping dipan tempat tidur. Seringkali ia kibaskan sarung tersebut ke kakiku, menjalarkan rasa sakit yang mendadak yang mengirimkan sinyal untuk segera beringsut bangun.

Ajaib. Aku terbangun tanpa komando lebih lanjut, mengarahkan kaki ke kamar mandi yang tak begitu jauh dari kamar. Kamar mandi tersebut memiliki keran yang sering terseok-seok mengeluarkan air, ia sering menertawakannya.

Kami langsung menuju balkon, memakai sarung dan menggelar sajadah, sambil sesekali melihat langgar depan kosan yang cukup riuh, namun sebagian besar berisi ibu-ibu.

“Dik, ayo.”

Rutinitas Shubuh kami selalu sama, yang menjadi imam biasanya masih bersuara parau, sedangkan makmumnya sedikit manggut-manggut menahan kantuk yang masih melanda. Terkadang, bahkan si makmum lupa mengamini setelah Al Fatihah selesai dibacakan.

Seusai shalat kami kembali ke kamar, kamar yang cukup pengap lantaran langit-langit kamar hanya selisih dua-tiga jengkal tanganku sendiri. Temanku ini biasanya langsung mengambil posisi di peraduannya, menutupi badannya sendiri dengan sleeping bag, lalu kembali lelap hingga pukul enam.

Aku yang biasanya langsung merebah di sebelahnya, saat itu memilih menghidupkan laptop, menonton cuplikan-cuplikan tayangan hiburan berisikan member AKB48. Kupilih asal dari folder, lalu kumainkan. Ternyata isinya adalah beberapa member terpilih dari single ‘Kibouteki Refrain’ yang dibohongi bahwa General Manager mereka terlibat kasus.

Sesekali kuintip keadaan temanku ini, tangannya menepuk tembok, mengelupas lapisan cat dindng yang sudah terlihat tua. Mulutnya kadang mengecap-ngecap, entah apa. Ia seringkali tersenyum tipis dalam tidurnya.


Kuberitahu mengenai temanku ini. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang kukenal, yang juga menyukai jejepangan. Selain jejepangan, ia juga menyukai sepak bola. Tim favoritnya berlaga di divisi primer liga inggris, ciri khasnya adalah meriam. Temanku ini sangat fokus. Determinasinya akan suatu hal sangat hebat, sampai-sampai yang lain dibuat kepalangan olehnya. Apabila pikirannya sudah terfokus pada suatu hal yang masih dalam jangkauannya, ia akan berusaha sekeras mungkin menjalankannya. Ia, menurut paramater yang kubuat sendiri, termasuk salah satu orang saleh yang tertib menjalankan ibadah. Di saat aku setengah terlelap sambil memeluk laptop, ia menyempatkan lima menit waktunya untuk shalat malam. Menjalankan amanah almarhum ayah, katanya. Determinasi tersebut juga tercermin dalam kesehariannya yang lain, saat ia bekerja, saat merakit gundam, meramu subtitel karaoke MV dari video-video musik 48 Group, hingga hal-hal yang remeh temeh seperti kebersihan kamar kosan. Dari kemantapannya itulah ia mendapat banyak teman, dari saat nonton bareng laga pertandingan tim favoritnya, maupun perkenalan tidak sengaja dengan pecinta jejepangan di tempat kami Kerja Lapangan.

Namun, layaknya bola yang bundar, yang terkadang tak bisa ditebak pergerakannya, ia juga sering melakukan blunder. Ia termasuk yang bangun paling siang jika liburan kantor tiba. Apabila kemalasannya sedang memuncak, ia bisa dengan lihai meracik Sarimi duo goreng tanpa memasak mi terlebih dahulu. Ia juga cengengesan, terkadang apa yang dikatakannya termasuk nonsense, tapi orang-orang tertawa dibuatnya. Terkadang, ia juga meninggalkan laptop dalam kondisi menyala ketika tertidur, seperti yang kulakukan. Ia termasuk barisan tukang tidur di kelas, sekaligus tukang kucing-kucingan baca komik ketika kuliah berlangsung. Saat sedang kosong kerjaan, ia cukup sering ditemui dalam keadaan tertidur pulas di dalam ruangan kantor.

Meski demikian, ia telah mengenalkanku akan banyak hal. Ia cukup sering memperbarui daftar anime yang ia tonton, banyak adek angkatan yang sering meminta anime kepadanya. Ia menunjukkanku tempat-tempat sewa komik murah di dekat kawasan kampus. Kami sering bertukar informasi mengenai gundam, cara-cara merakit, kiat merakit bootleg, kiat mengecat ulang, membuat diorama, yang tiada diantaranya yang pernah kami lakukan bersama. Diskusi diantara kami mengenai hal-hal berbau gundam maupun jejepangan terkadang cukup sengit, rentetan informasi yang ia beberkan kadang ligat, tajam, dan cepat bagai senapan mesin.

Beberapa hal yang diajarkannya dan masih membekas dalam hatiku adalah pengetahuan mengenai 48 Group. Ia adalah sumber informasi atau kamus berjalan mengenai apapun itu yang berkenaan dalam 48 Group, mulai AKB48, SKE48, NMB48, HKT48, hingga SNH48 dan JKT48, berikut rival resmi 48 Group, Nogizaka46. Ia tahu dan paham perkembangan semua subunitnya, mulai No Sleeve, Not Yet, No Name, French Kiss, AnRiRe, BKA48, TentoumuChu, dan lainnya. Kami berdua menyukai dan mengagumi subunit yang sama, yaitu Watarirouka Hashiritai 7, alasannya karena di dalamnya terdapat Kami Oshi-nya, Aika Ota a.k.a Love-tan, sedangkan aku mendukung Watanabe Mayu a.k.a Mayuyu.

Sering aku mengganggunya, menanyakan hal-hal yang tidak penting seperti, “Iki sopo, Nes?” “Kui sopo, Nes?” “Iki single kepiro, Nes?” “Ngopo koe ora seneng JKT48, Nes?” hingga pertanyaan sangat bermutu seperti, “Gimana nasib Mayuyu sebagai Ace? Bisa gak dia menggantikan Oshima Yuko?” “Member tipe variety sing menyaingi Sasshi sopo, Nes?” “Perkembangan Okada Nana kok iso melejit yo?” “Dasar’e member iki didorong seko manajemen 48 Group ki opo to, Nes? Kan mesakne member tuwo…” dan lainnya.

Tapi Allah telah menunjukkanmu jalan yang lain.
Mungkin istananya di sana sudah siap dihuni.
Mungkin ia sudah disiapkan terompah emas oleh Allah.

Ia adalah Aditya Hanes Intanto.

Teman karibku selama beberapa tahun perkuliahan ini. Teman yang kusayang, yang seringnya kurepotkan dalam banyak hal.


Foto kami yang terakhir dengan Hanes. Sesampainya di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, setelah kegiatan Kerja Lapangan di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan. Dari kiri ke kanan : Aku, Hayu, dan Hanes.


Nes, aku isih krungu lehmu nge-chant Arsenal karo nge-wotagei…
 ….Oi! Oi! Oi! Oi! Oi!

Jumat, Oktober 03, 2014

EarChestra Sepulangnya

Setelah lama tidak menyapa dan menyalakan lentera dari blog yang hampir mati ini, kucoba menyiram pandanganku agar meresap ke segala arah, segala penjuru. Tidak, hal ini tidak ada hubungannya dengan gemuruh di dunia luar jiwa yang mendesak dan memaksa untuk meledak. Kenapa kuputuskan untuk tidak berhubungan? Karena ledakannya mengancam jiwa, menghancurkan cermin dan topeng yang kubuat selama ini. Lentera ini menerangi semua, menyeruakkan bebauan yang kuanggap teman pada beberapa tahun yang lalu. 
 
Api dari lentera menyambar ke atas kepala, menari tanpa membakar rambutku sendiri, lalu menyalak keras ke sebuah sudut. Bukannya panas yang kurasa, namun jilatan yang terus saja merayap lambat. Jilatan itu terasa sedikit sendu, sedikit kelabu. Benar saja, sejenak jilatan ini telah memakan bulat-bulat sebuah benda yang kusimpan erat dalam koper. Koper yang kombinasinya saja mungkin sudah kulupa. Koper yang usang, yang berbulu warna beludru. Yang jika kau ketukkan kemoceng melewati sepertiga mili diatasnya akan beterbangan debu-debu kenangan bak kunang-kunang yang terusik. Bagai kawanan ikan barakuda, debu kenangan menutupi pandangan sejenak, lalu terhunus api.

Api ini terus menyalak kencang, ia hangat namun bergumuruh. Cukup mengganggu dan menggetarkan ruangan ini, pikirku. Sesaat berikutnya, tepat ketika ingin kucuba melemparkan diriku ke dalamnya, api ini padam seketika dan menyisakan sebuah permen. Permen gulas, permen yang asam dan manisnya bergumul di lidah bak pemain gulat amatiran. Berderu kesana kemari tanpa arah, hingga akhirnya menjinak. Berubah menjadi dua kucing jinak. Saling menggoda satu sama lain, berguling sesaat, diam. Terus saja begitu hingga rasa ini berubah kelam, tak berbekas.
Api ini menyisakan sebuah senyawa, yang tidak stabil, yang memaksakan diri menyeruak ke telinga. Menembus segala macam batas duniawi, surgawi, hingga virtual yang cukup tidak awam buatku. Seberapa menyebalkan rasa ini, kautanya? Semenyebalkan cengkeh yang menghiasi kue-kue nastar tanpa dosa, menyembunyikan duri yang kejam dalam balutan legit dan renyahnya campuran tepung, keju, dan selai nanas.

Kuambil napas sebentar. Kusesap ludah di lidahku hingga kembali ke alam nyata.

Kudapati ragaku ada di atas kasur warna merah, berbau kusam, bernafaskan debu, lengkap dengan jaket dan segala macam perangkat perang yang biasa kubawa ketempat kuliah. Mataku nanar memperhatikan sekeliling, layaknya penari Bali yang mengincar wisatawan yang tidak terpukau akan gerakannya. Bola mata ini mencari bagai tiada tempat berlabuh, mencari tanpa tahu apa yang akan dicari, bernapas tanpa yakin meresap udara, mencecap tanpa yakin ada rasa, berdegup tanpa yakin memompa darah, menapak tanpa pengetahuan akan daratan.

Apa yang sedari tadi akan kulakukan?

Kuamati handphone tanpa lekuk, berbaring lemah dan berkedip, menggonggong minta diberi makan. Kulitnya yang gelap namun licin melambangkan keangkuhannya untuk selalu dibelai, diurus, dipaksa update status dan berkicau di dunia virtual.
Tampak di sana ada beberapa kata dari pujaan, yang mengisi relung hati tanpa sisa. Kuikuti apa kemauannya, demi segala apa yang baik untuknya. Kudoakan agar lancar.

Setelah itu, mata ini menerkam mp3 cap sambel yang suaranya cukup sember, yang kupaksa kupegang telaknya, menyanyikan beberapa macam lagu yang ingin kusuka. Namun hari ini, ternyata lain. Jempol bergerak tanpa irama, beberapa tulisan di layar ia pencet sesuka, lalu muncul sederet lagu. Eksekusi dilakukan tak sampai lima hitungan anak PAUD untuk memulai sebuah alunan lagu pertama. Telingaku tidak mendengar ucapan komandannya, ia membuka gerbang pertahanannya dan memasukkan sederatan suara ke dalam kepala.

Suaraku meronta menggema di dalam sukmaku sendiri. Aku diperbudak diriku. Dan lagu mulai bergulir tanpa dapat dihentikan kembali.

EarChestra pertama berdengung menghujam gendam telinga, The Wanted – Walks Like Rihanna. Seperti orkestra yang pertama, beberapa bayangan langsung mencuat keluar dari otak.

Adalah seorang wanita yang muncul pertama, yang sebenarnya biasanya saja, yang ternyata memikat dengan segala rupa dan segala rasa. Kemudian bayangan bergerak ke seorang pria, ia lusuh, dekil, berdebu, dan hanya mampu melihat wanita ini bergerak. Hingga akhirnya berita menyebar bahwa wanita ini berhasil menarik jiwa-jiwa lelaki di sekelilingnya. Pria ini tak bisa memungkiri jika ia tertarik, ia akan lakukan apa saja untuk bergerak mendekati wanita ini. Apa saja.

Apalah bukti ia tertarik? Ada rasa tak tentu yang pria ini rasakan jika wanita tersebut ada di dalam ruangan yang sama dengan dirinya. Ada degupan dihatinya yang tak bisa ia bendung, bagaikan letusan kembang api yang terjadi di setiap malam tahun baru, atau pembukaan suatu acara perlombaan agung, bertubi-tubi dan berkali-kali.

Ketika bayangan ini menari-nari, EarChestra kedua menggelinding, mengantam bayangan tersebut. Dimulailah lagu kedua, Pink - True Love (ft. Lily Allen).

Bayangan ini meloncat kembali menggambarkan kedua figur pria dan wanita. Sang wanita berdengung tidak jelas, menuntut, memaksa, menagih, mencaci, meludahkan hingga memuntahkan berbagai macam kata beracun yang hampir seluruhnya menjadi racun. Memakan setiap bagian dirinya sendiri dan lelaki tersebut. Pria tersebut melindungi dirinya dengan menutup telinga, mirip seorang anak kecil yang takut akan kilat dan suaranya yang bergemuruh. 
 
Pemandangan ini memuakkanku, meski kucoba memejamkan mata dan mengerjap berkali-kali, hal ini tidak menghilang begitu saja. Hanya gumaman dari lelaki ini yang terlihat jelas, membuka dan menutup mulutnya dengan cepat, entah ingin berkata atau bergidik ketakutan. Sekejap firasat muncul dalam benak pria ini, untuk membalas, untuk menghimpun tenaga yang ada dan sekejap mata mengembalikan semuanya dalam satu kilatan tamparan penuh energi kepada wanita ini.
 
Namun, hanya wanita ini yang menekannya begitu keras. Hanya wanita ini yang mengacaukan segala macam sistem yang pria ini buat dan membuatnya macam komedi putar di arena bermain anak-anak di suatu sudut mall di kota. Hidup pria ini akan menjadi kelabu tanpa wanita ini. Pikirnya.
 
Tiada orang lain, selain wanita ini yang memaksa seluruh impuls di otak untuk menggerakkan dua batang tangan miliknya hingga melingkari, memeluk, tubuh sang wanita. Di saat dan waktu yang sama pula, terdapat impuls yang menggelitik dengan geli untuk menggerakkan kedua bilah tangan tersebut, melingkar pula, namun ke batang leher si wanita.
 
Menyebalkan!
 
Ungkap pria ini, namun tidak bisa ia pungkiri bahwa terdapat semburat cinta diantara pipinya yang bersemu merah.
 
Ia menyadari bahwa dirinya sungguh-sungguh mencintai dan membenci wanita ini secara adil, dan entah ada iklim apa yang memutar balikkan seluruh logika di dalam sel-sel kehidupannya, pria ini menjadi berpikir bahwa wanita ini adalah orangnya. Seseorang yang nantinya akan diajaknya berdua berjalan di altar pernikahan. Yang akan mengiringi tiap hembusan nafas hingga salah satunya berhenti, atau tersedak tutup botol sambal, yang manapun yang duluan. Pria ini berkali-kali menanyakan kewarasan dirinya, "Kenapa aku masih bertahan?" atau "Kemana aku harus pergi?" tanpa tahu arah dan tujuan lain, hanya karena ia cuma mengenal dan memahami wanita ini.
 
Yang manapun ia yakin, bahwa wanita ini adalah seseorang yang ia tunggu lama. Seseorang yang memang muncul sekali dalam kehidupan untuk membersamainya. Seseorang yang meski ia benci setengah mati dan ia sayangi setengah hidup, wanita ini adalah cinta sejatinya. Karena tiada hal lain dan orang lain yang dapat melukai hatinya, separah dan sekejam cinta sejati.
Diakhir bayangan, pria ini mengajarkan kepada tersebut, perlahan-lahan. Bagai seorang guru yang dengan sabar menuntun muridnya untuk mengeja sebuah kata, ia mengenalkan sebuah kata paling ampuh, obat dari segala kata beracun yang ia muntahkan di awal, yaitu romansa.
 
Lalu tetiba saja sendu. Mataku yang mengerjap ternyata menangkap kedipan kode tertentu. Sebuah tanda bahwa mp3 merek sambal ini mengkhianati tuannya. Ia bergerak perlahan menuju nirwana pada nyawanya yang kesekian.
 
Menuntut isi nyawa kembali, pikirku.
 
Kututup EarChestra ini dengan doa. Doa yang kupanjatkan agar dirimu...
 
...yaaaa, kau tahulah.
:D